1.
Solusi
Secara Personal
Secara personal kita
dapat mencegah perzinaan dimulai dari diri sendiri. Berikut beberapa cara yang dapat dilakukan menurut aturan islam agar supaya kita
dapat terhindar dari perilaku selingkuh dan perzihan itu.
Pertama,
manusia diperintahkan menutup aurat.
Ajaran Islam telah menetapkan, bahwa aurat laki-laki adalah antara pusar dan
lutut. Dan aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan.
Jika saja manusia melaksanakan aturan ini dengan konsisten, maka kita yakin
manusia akan terhindar dari perbuatan zina dan perselingkuhan itu. Masalahnya
adalah mengumbar aurat kini menjadi tontonan sehari-hari, baik lewat
media maupun di seluruh tempat kerja, pasar, mall, jalan dan lain-lain. Bahkan
membuka aurat menjadi salah satu kebanggaan suatu status sosial. Allah SWT
berfirman: “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih
mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS. Al-Ahzab: 59)
Kedua,
Islam telah mengajarkan adab Tentang
Cara memandang. Dalam memandang kita diajarkan agar menundukkan
pandangan. Perintah ini bukan hanya saat orang yang dipandang terbuka auratnya,
namun bahkan kepada yang tertutup auratnya sekalipun (hanya muka dan telapak
tangan yang terbuka). Apalagi jika auratnya terbuka, maka perintah menundukkan
pandangan lebih tegas lagi. Jika setiap kita menjalankan ajaran adab memandang
ini, maka kecil kemungkinan terjadi perzinahan dan
perselingkuhan.Firman Allah swt: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang
demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang mereka perbuat." (QS. An-Nur: 30). DanJuga firman Allah SWT:
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya,
kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain
kudung kedadanya, (QS. Aln-Nuur: 31)
Ketiga, Ajaran Islam mengajarkan
kita akan adab memasuki rumah atau
bertamu. Yakni tidak diperbolehkan memasuki rumah kecuali dengan
memberi salam dan diberi izin masuk. Sebab boleh jadi, pemilik rumah sedang
dalam keadaan tidak pantas terlihat, atau sedang istirahat dan tidak boleh
diganggu. Firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada
penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat”
(QS. An-Nuur: 27)
Keempat: Adab Memasuki Kamar anggota Keluarga
kita di rumah. Islam mengajarkan kita akan adab memasuki kamar anggota
rumah kita sendiri, yakni tidak memasuki kamar anggota rumah tangga di
waktu-waktu tertentu. Karena waktu-waktu itu adalah waktu-waktu istirahat yang
mungkin saja anggota keluarga sedang terbuka auratnya, atau sedang tidak pantas
dipandang. Firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah
budak-budak/pembantu (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang
belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu
hari) yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian
(luar)mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya'. (Itulah) tiga 'aurat bagi
kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga
waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada
sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. An-Nuur: 58).
Kelima: Larangan berdua-duan di tempat
yang sepi. Islam mengajarkan kepada kita akan
larangan berduaan berlainan jenis yang bukan mahramnya. Rasulullah saw
bersabda, “Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang
wanita, karena pihak ketiganya adalah syaitan” (HR: Ibnu Maja).Karena hasrta
berbuat yang tidak baik itu bisa saja timbul karena adanya kesempatan, banyak
orang dalam pergaulan seharihari tidak saling tertarik, akan tetapi ketika
mereka berduaan maka hasrat itu bisa muncul karena mereka berada di tempat yang
sepi. Jika hasrat ini diteruskan maka akan menjadi penyebab masuk ke pintu
perselingkungan atau perzinahan, maka Islam melarang berdua-duan di tempat yang
sempit tanpa mahram atau muhrim
Ke enam: Segera menikah bagi yang masih
Bujang atau Berpuasa bagi yang belkum mampu menikah. Banyak
sekali pemuda dan pemudi karir di kota-kota besar, karena sibuk bekerja maka
mereka tidak mau menikah, tetapi mau melakukan pergaulan bebas. Pada hal
melalui pergaulan bebas ini bisa menyebabkan kehamilan dan melahirkan anak yang
tidak mempunyai nasab yang jelas. Di sisi lain pergaulan bebas ini justru
banyak menimbulkan banyak penyakit kelamin, termasuk HIV. Banyak ahli
menyimpulkan penyakit HIV timbul karena adanya pergaulan bebas dengan
berganti-ganti pasangan. Islam lalu memberi jalan keluar bagi yang sudah mampu
sebaiknya menikah kalau tidak mampu maka berpuasalah sebagaimana sabda
Rasulullah Muhammad saw. Yang diriwayatkan Abu Hurairah as. “Jika seseorang sudah
mencapai umur dan memenuhi syarat maka sebaiknya menikah, jika belum mampu
menikah maka berpuasalah”
Ke Tujuh: Jika bertemu wanita Cantik di luar maka
segeralah bertemu isteri di rumah. Dalam kehidupan moderen kita tidak
mungkin menghindari untuk bertemu dengan berbagai jenis manusia, termasuk orang-orang
cantik. Wanita-wanita cantik itu bisa saja teman kantor kita, rekan kerja kita,
konsumen disuper market, di angkutan umum seperti di kota kota besar.
Pertemuan-pertemuan atau perjumpaan seperti ini dapat memunculkan hasrat untuk
berbuat sesuatu yang di luar norma agama. Sabda Rasulullah Muhammad SAW yang
diriwayatkan Abu Hurairah as. “Jika kalian bertemu wanita-wanita cantik yang dapat
menimbulkan birahi maka segeralah bertemu isteri-isteri kalian”. (Dr. E.M. Sangadji, M.Si
2.
Solusi
Skala Masyarakat
Dalam menghadapi
perzinahan, masyarakat juga ikut berpartisipasi. Dalam hal ini peran masyarakat
adalah memberikan efek jera kepada selaku pelaku perzinahan. Diantaranya
sebagai berikut :
Sanksi yang sering
diberikan oleh masyarakat adalah sanksi berupa pengucilan pelaku perzinahan.
Biasanya pelaku perzinahan tidak diterima oleh masyarakat sekitar. Sanksi
pengucilan ini cukup efektif untuk memberikan efek jera kepada pelaku
perzinahan. Ada banyak alasan yang diungkapkan masyarakat ketika menjauhi
pelaku perzinhan. Rata rata mereka merasa takut tertular penyakit yang sering
dialami oleh pezina seperti HIV/ AIDS dan lain lain. Kita tahu bahwa penyakit
HIV/AIDS adalah penyakit yang sangat berbahaya dan dapat menular. Selain
penyakit, masyarakat juga tidak ingin bergaul dengan pezinah dikarenakan takut
merusak moral anggota keluarga dan dirinya.
3.
Solusi
dari pemerintah untuk mengatasi perzinahan
Dalam hukum tentang
perzinahan pemerintah menetapkan peraturan perundang undangan.
Hukum Pidana Materil kita yang telah terkodifikasi (KUHP-Kitab Undang
Undang Hukum Pidana), menempatkan Tindak Pidana Perzinahan sebagai sebuah
Kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal 284 KUHP. Pasal 284 KUHP yang mengatur
tentang Perzinahan terdiri dari lima (5) ayat, kita akan mencermati dan
menganalisa Pasal 284 ayat 1 ke 1e KUHP, karena memang pasal ini yang kerap
dilanggar (lazim terjadi) dan diterapkan kepada pelaku-pelaku dalam tindak
pidana perzinahan, yang berbunyi ; Dihukum Penjara selama-lamanya sembilan
bulan, (a). Laki-laki
yang beristri berbuat zinah, sedang diketahui bahwa Pasal 27 KUH Perdata
berlaku padanya, (b).
Perempuan yang bersuami, berbuat zinah.
Zinah
sebagaimana diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana mengandung pengertian bahwa Persetubuhan yang dilakukan
oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin (nikah) dengan perempuan atau
laki-laki bukan istri atau suaminya, persetubuhan dimaksud dilakukan atas dasar
suka sama suka.
Mencermati
akan bunyi pasal yang mengatur tentang perzinahan diatas, maka unsur-unsur
terpenting dari tindak pidana perzinahan yang harus dipenuhi guna menghukum
seseorang sebagai pelaku tindak pidana perzinahan adalah : (a). Salah satu pihak
telah menikah sah (tentang Sah-nya
perkawinan dapat kita lihat pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan), (b).
Adanya persetubuhan atas dasar suka sama suka (Unsur pasal ini menekankan bahwa persetubuhan
sudah harus benar-benar terjadi. Perbedaan persetubuhan dalam Pidana Perzinahan
dan Pidana Pemerkosaan adalah, Dalam Pidana Perzinahan terjadinya
persetubuhan oleh karena suka sama suka sedangkan dalam Pidana Pemerkosaan,
terjadinya persetubuhan oleh karena tidak disukai oleh salah satu pihak dan
diikuti dengan adanya ancaman kekerasan), (c). Harus ada
Pengaduan dari suami/istri yang menjadi korban/dirugikan (unsur ini
menggambarkan bahwa pidana perzinahan sebagai sebuah delik aduan yang absolut,
tidak dapat dituntut apabila tidak ada pengaduan dari suami/istri yang menjadi
korban/dirugikan). Bila dari ketiga unsur ini, salah satu tidak terpenuhi,
maka sudah pasti seseorang tidak dapat diproses sebagai pelaku tindak pidana
perzinahan.
Setelah
kita mengetahui unsur-unsur terpenting dari tindak pidana perzinahan yang harus
dipenuhi guna menghukum seseorang sebagai pelaku tindak pidana perzinahan, maka
mengajak kita semua untuk mendalami satu persatu unsur pasal perzinahan
sehingga kita bisa mengetahui “rumitnya, baik buruknya”, unsur-unsur
yang membangun tindak pidana perzinahan itu sendiri dalam hukum pidana positif
kita, yakni :
a. Salah satu pihak telah
menikah sah (Sah-nya
perkawinan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan)
Seseorang dapat dikatakan sebagai pelaku dugaan tindak
pidana perzinahan, maka salah satu pihak dari pasangan zinah tersebut telah
menikah sah, tentang sah-nya perkawinan, maka kita bisa melihat Pasal 2 ayat
(1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berbunyi
: (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika demikian muncul persoalan,
bagaimana jika sebuah pasangan (laki-laki/perempuan) telah melangsungkan proses
peminangan menurut hukum adat dan atau perkawinan menurut hukum adat kemudian
hidup bersama (layaknya suami istri, apalagi kalau sudah dikarunia anak)
dan dalam perjalanan hidup bersama tersebut, ada salah satu pihak tertangkap
tangan berzinah, tentu pihak yang tertangkap tangan berzinah itu tidak dapat
dihukum dengan Pasal Perzinahan, oleh karena belum adanya perkawinan yang sah
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Disatu sisi Mahkama Agung Republik Indonesia pernah
menguatkan sebuah putusan yang telah menjadi yurisprodensi (kekuatan hukum
tetap), Seorang laki-laki yang awalnya dituntut sebagai pelaku perzinahan
dibebaskan dari tuntutan sebagai pelaku perzinahan, walaupun saat itu yang
bersangkutan tertangkap tangan berzinah dengan perempuan yang bukan istrinya, dan
bahkan dalam pemeriksaan yang bersangkutan bersama pasangannya mengakui dengan
jujur perbuatan mereka, selain daripada itu pelaku perzinahan dimaksud,
saat melakukan perbuatannya sadar bahwa mereka masih terikat perkawinan yang
sah menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pertimbangan
hakim dalam membebaskan orang tersebut dari tuntutan perzinahan oleh karena,
orang tersebut telah mengembalikan tanda adat kepada keluarga istrinya, dimana
menurut hukum adat yang dianut saat itu oleh keduanya (laki-laki yang
berzinah dan istri sah-nya tersebut tunduk pada satu hukum adat),
pengembalian tanda adat itu menandakan bahwa mereka telah dianggap bercerai
dalam hukum adat mereka, walaupun perceraian atas perkawinan mereka melalui
Putusan Lembaga Peradilan belum ada. Terhadap yurisprodensi ini, maka saya
berpendapat seharusnya aparat penegak hukum dibidang pidana juga dapat
memeriksa dan menuntut salah satu pihak yang berzinah walaupun mereka baru
melangsungkan proses peminangan menurut hukum adat dan atau perkawinan menurut
hukum adat, dengan catatan mereka (kedua pasangan calon suami istri tadi)
tunduk pada satu hukum adat. Saya katakan demikian, karena ada hukum adat yang
setelah melangsungkan proses peminangan menurut hukum adat dan atau perkawinan
menurut hukum adat, kedua calon pasangan hidup tadi sudah dianggap dan atau
dapat hidup bersama sebagai suami istri sah menurut adat, walaupun mereka belum
melangsungkan perkawinan menurut amanat Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 (ini banyak terjadi dalam kehidupan masyarakat indonesia). Dan
ternyata dalam perjalanan hidup mereka, ada pasangan yang berzinah tentu
pasangan yang satu akan mengalami kerugian kerugian Moril/penderitaan psikis
yang tidak dapat diukur (terutama
pihak perempuan).
b. Adanya persetubuhan atas dasar
suka sama suka (menekankan bahwa persetubuhan sudah harus
benar-benar terjadi).
Seseorang dapat dikatakan sebagai pelaku dugaan tindak
pidana perzinahan, apabila pasangan yang diduga berzinah tersebut sudah
melakukan “Persetubuhan” (Persetubuhan menurut penjelasan KUHP adalah
Peraduan antara anggota kelamin laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan
untuk mendapatkan anak, jadi anggota kelamin laki-laki harus masuk kedalam
anggota kelamin perempuan sehingga mengeluarkan air mani). Mencermati akan
pengertian persetubuhan dimaksud, maka kita akan mengalami kesulitan dalam
pembuktiannya, mengapa demikian, karena tidak mungkin orang bersetubuh,
dilakukan ditempat yang sekiranya dapat disaksikan dengan mata telanjang,
sehingga pembuktian terhadap unsur persetubuhan ini, biasanya hanya bergantung
pada Pengakuan pasangan zinah serta pembuktian secara medis.
Khusus untuk pengakuan pasangan zinah agak sulit kita
dapati (hal ini sejalan dengan ungkapan
klasik bahwa kalau pencuri mengaku maka penjara sudah pasti penuh.
Syukur-syukur kalau ada yang jujur mengakui, tetapi biasanya pasangan zinah
yang mengakui dengan jujur perbuatannya oleh karena sudah memantapkan
pilihannya menjadikan zinah sebagai alasan untuk bercerai), sedangkan pembuktian
secara medis akan sangat sulit apabila sebelumnya pasangan zinah tersebut sudah
pernah (sering) melakukan persetubuhan, lain hal kalau ketika pasangan
zinah tersebut ditangkap walaupun mereka tidak dalam keadaan sedang bersetubuh,
tetapi pada mereka didapati sperma yang baru saja keluar, maka sudah tentu
pemeriksaan medis dapat membuktikan hal tersebut.
Ada anggapan bahwa walaupun pasangan zinah tidak mengakui
pernah melakukan persetubuhan, dan pada mereka tidak didapati tanda-tanda yang
dapat dijelaskan secara medis bahwa mereka baru saja melakukan persetubuhan,
namun sepasang pasangan zinah “sudah dapat dianggap” telah melakukan
persetubuhan karena keadaan-keadaan sebagai berikut ; mereka berdua berlainan
jenis kelamin, bukan suami istri sah, tidak ada hubungan keluarga, kedapatan
berduaan didalam kamar hotel, kamar kost dan lain sebagainya, bahkan mereka
berdua mengaku dengan jujur saling mencitai, akan tetapi saya tegaskan bahwa
keadaan inipun tidak/belum menjelaskan definisi persetubuhan diatas guna
memenuhi unsur pasal ini. Kecuali akibat dari perzinahan itu, istri yang
berzinah atan perempuan pasangan zinah hamil atau mempunyai anak dan kemudian
pemeriksaan medis (Test DNA) mampu membuktikannya, maka walaupun tidak ada
pengakuan akan perbuatan persetubuhan, tetapi keadaan diatas telah
menjelaskannya.
Biasanya seorang suami/istri yang menjadi korban dari
sebuah tindak pidana perzinahan, ketika menangkap “basah”
suami/istrinya dengan pasangan zinahnya, berduaan didalam kamar hotel, kamar
kost bahkan suami/istri pasangan zinah tadi ketika ditangkap mengakui dengan
jujur bahwa ia mencintai pasangannya dan sudah menjalin hubungan cinta untuk
waktu yang cukup lama, lalu melaporkan secara pidana kepada aparat negara
penegak hukum dan melalui serangkaian proses hukum, kemudian suami/istri yang
berzinah tadi tidak dapat diproses lebih lanjut oleh karena tidak dapat
dibuktikan adanya unsur persetubuhan, kemudian menyalahkan aparat penegak hukum
karena seolah-olah aparat penegak hukum tidak merespon laporannya, tetapi mau
bagaimana lagi, hukum pidana kita memang mensyaratkan demikian.
c. Harus ada Pengaduan dari
suami/istri yang menjadi korban/dirugikan.
Untuk dapat memproses (dilakukannya tindakan penyidikan)
tindak pidana perzinahan, maka harus ada pengaduan dari suami/istri yang
menjadi korban dari tindakan perzinahan. Tindak Pidana perzinahan merupakan
delik aduan absolut karena tindak pidana perzinahan tidak dapat dituntut
apabila tidak ada pengaduan dari suami/istri yang menjadi korban dari tindakan
perzinahan. Atas pernyataan ini, beberapa kalangan sering mempertanyakan, jika
tindak pidana perzinahan merupakan delik aduan absolut, maka mengapa polisi
tanpa adanya pengaduan, juga melakukan pemeriksaan terhadap pasangan yang
diduga berzinah ?
Polisi tidak dilarang untuk mengadakan pemeriksaan bila
mendapat laporan adanya dugaan terjadinya peristiwa perzinahan, bahkan pada
saat-saat tertentu harus mengambil tindakan-tindakan kepolisian untuk mencegah
hal-hal yang tidak diinginkan serta menjaga keamanan dan ketertiban umum.
Pemenuhan unsur inilah yang menjadi dilematis bagi korban
perzinahan. Mengapa demikian, Karena jarang sekali terjadi seorang suami/istri
yang melaporkan suami/istrinya karena berzinah, membiarkan suami/istrinya
diproses hingga mendapat putusan pengadilan yang inkrah, lalu di tahan di
lembaga pemasyarakatan sebagai terpidana dan setelah suami/istrinya selesai
menjalani hukuman penjara di lembaga pemasyarakatan baru mereka hidup normal
lagi sebagai suami istri dalam sebuah rumah tangga. Kebanyakan suami/istri yang
menjadi korban perzinahan mampu merelakan suami/istrinya diproses hingga
mendapat putusan pengadilan yang inkrah, lalu di tahan di lembaga
pemasyarakatan sebagai terpidana, karena sudah memantapkan pilihannya untuk
bercerai. (muncul persoalan disini bagi mereka yang beragama kristen,
dimana perceraian tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun kecuali kematian).
Suami/istri yang menjadi korban perzinahan, lebih
menginginkan agar supaya suami/istrinya yang berzinah dapat ditahan untuk
jangka waktu tertentu sehingga dapat membuat efek jera, akan tetapi hukum
pidana positif kita tidak “mengakomodir keinginan” ini.