Kamis, 02 April 2015

Solusi Menghadapi Perzinahan yang Semakin Marak

Diposting oleh Unknown di 21.21



1.      Solusi Secara Personal
Secara personal kita dapat mencegah perzinaan dimulai dari diri sendiri.  Berikut beberapa cara yang dapat dilakukan menurut aturan islam agar supaya kita dapat terhindar dari perilaku selingkuh dan perzihan itu.
Pertama, manusia diperintahkan menutup aurat. Ajaran Islam telah menetapkan, bahwa aurat laki-laki adalah antara pusar dan lutut. Dan aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan. Jika saja manusia melaksanakan aturan ini dengan konsisten, maka kita yakin manusia akan terhindar dari perbuatan zina dan perselingkuhan itu. Masalahnya adalah mengumbar aurat kini menjadi tontonan  sehari-hari, baik lewat media maupun di seluruh tempat kerja, pasar, mall, jalan dan lain-lain. Bahkan membuka aurat menjadi salah satu kebanggaan suatu status sosial. Allah SWT berfirman: “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS. Al-Ahzab: 59)

Kedua, Islam telah mengajarkan adab Tentang Cara memandang. Dalam memandang kita diajarkan  agar menundukkan pandangan. Perintah ini bukan hanya saat orang yang dipandang terbuka auratnya, namun bahkan kepada yang tertutup auratnya sekalipun (hanya muka dan telapak tangan yang terbuka). Apalagi jika auratnya terbuka, maka perintah menundukkan pandangan lebih tegas lagi. Jika setiap kita menjalankan ajaran adab memandang ini, maka kecil kemungkinan terjadi perzinahan dan perselingkuhan.Firman Allah swt: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat." (QS. An-Nur: 30). DanJuga firman Allah SWT: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, (QS. Aln-Nuur: 31)

Ketiga, Ajaran Islam mengajarkan kita akan adab memasuki rumah atau bertamu. Yakni tidak diperbolehkan memasuki rumah kecuali dengan memberi salam dan diberi izin masuk. Sebab boleh jadi, pemilik rumah sedang dalam keadaan tidak pantas terlihat, atau sedang istirahat dan tidak boleh diganggu. Firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat” (QS. An-Nuur: 27)
Keempat: Adab Memasuki Kamar anggota Keluarga kita di rumah. Islam mengajarkan kita akan adab memasuki kamar anggota rumah kita sendiri, yakni tidak memasuki kamar anggota rumah tangga di waktu-waktu tertentu. Karena waktu-waktu itu adalah waktu-waktu istirahat yang mungkin saja anggota keluarga sedang terbuka auratnya, atau sedang tidak pantas dipandang. Firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak/pembantu (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya'. (Itulah) tiga 'aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. An-Nuur: 58).

Kelima: Larangan berdua-duan di tempat yang sepi.  Islam mengajarkan kepada kita akan larangan berduaan berlainan jenis yang bukan mahramnya. Rasulullah saw bersabda, “Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita, karena pihak ketiganya adalah syaitan” (HR: Ibnu Maja).Karena hasrta berbuat yang tidak baik itu bisa saja timbul karena adanya kesempatan, banyak orang dalam pergaulan seharihari tidak saling tertarik, akan tetapi ketika mereka berduaan maka hasrat itu bisa muncul karena mereka berada di tempat yang sepi. Jika hasrat ini diteruskan maka akan menjadi penyebab masuk ke pintu perselingkungan atau perzinahan, maka Islam melarang berdua-duan di tempat yang sempit tanpa mahram atau muhrim

Ke enam: Segera menikah bagi yang masih Bujang atau Berpuasa bagi yang belkum mampu menikah. Banyak sekali pemuda dan pemudi karir di kota-kota besar, karena sibuk bekerja maka mereka tidak mau menikah, tetapi mau melakukan pergaulan bebas. Pada hal melalui pergaulan bebas ini bisa menyebabkan kehamilan dan melahirkan anak yang tidak mempunyai nasab yang jelas. Di sisi lain pergaulan bebas ini justru banyak menimbulkan banyak penyakit kelamin, termasuk HIV. Banyak ahli menyimpulkan penyakit HIV timbul karena adanya pergaulan bebas dengan berganti-ganti pasangan. Islam lalu memberi jalan keluar bagi yang sudah mampu sebaiknya menikah kalau tidak mampu maka berpuasalah sebagaimana sabda Rasulullah Muhammad saw. Yang diriwayatkan Abu Hurairah as. “Jika seseorang sudah mencapai umur dan memenuhi syarat maka sebaiknya menikah, jika belum mampu menikah maka berpuasalah”

Ke Tujuh: Jika bertemu wanita Cantik di luar maka segeralah bertemu isteri di rumah. Dalam kehidupan moderen kita tidak mungkin menghindari untuk bertemu dengan berbagai jenis manusia, termasuk orang-orang cantik. Wanita-wanita cantik itu bisa saja teman kantor kita, rekan kerja kita, konsumen disuper market, di angkutan umum seperti di kota kota besar. Pertemuan-pertemuan atau perjumpaan seperti ini dapat memunculkan hasrat untuk berbuat sesuatu yang di luar norma agama. Sabda Rasulullah Muhammad SAW yang diriwayatkan Abu Hurairah as. “Jika kalian bertemu wanita-wanita cantik yang dapat menimbulkan birahi maka segeralah bertemu isteri-isteri kalian”. (Dr. E.M. Sangadji, M.Si

2.      Solusi Skala Masyarakat
Dalam menghadapi perzinahan, masyarakat juga ikut berpartisipasi. Dalam hal ini peran masyarakat adalah memberikan efek jera kepada selaku pelaku perzinahan. Diantaranya sebagai berikut :
Sanksi yang sering diberikan oleh masyarakat adalah sanksi berupa pengucilan pelaku perzinahan. Biasanya pelaku perzinahan tidak diterima oleh masyarakat sekitar. Sanksi pengucilan ini cukup efektif untuk memberikan efek jera kepada pelaku perzinahan. Ada banyak alasan yang diungkapkan masyarakat ketika menjauhi pelaku perzinhan. Rata rata mereka merasa takut tertular penyakit yang sering dialami oleh pezina seperti HIV/ AIDS dan lain lain. Kita tahu bahwa penyakit HIV/AIDS adalah penyakit yang sangat berbahaya dan dapat menular. Selain penyakit, masyarakat juga tidak ingin bergaul dengan pezinah dikarenakan takut merusak moral anggota keluarga dan dirinya.


3.      Solusi dari pemerintah untuk mengatasi perzinahan
Dalam hukum tentang perzinahan pemerintah menetapkan peraturan perundang undangan.
Hukum Pidana Materil kita yang telah terkodifikasi (KUHP-Kitab Undang Undang Hukum Pidana), menempatkan Tindak Pidana Perzinahan sebagai sebuah Kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal 284 KUHP. Pasal 284 KUHP yang mengatur tentang Perzinahan terdiri dari lima (5) ayat, kita akan mencermati dan menganalisa Pasal 284 ayat 1 ke 1e KUHP, karena memang pasal ini yang kerap dilanggar (lazim terjadi) dan diterapkan kepada pelaku-pelaku dalam tindak pidana perzinahan, yang berbunyi ; Dihukum Penjara selama-lamanya sembilan bulan, (a). Laki-laki yang beristri berbuat zinah, sedang diketahui bahwa Pasal 27 KUH Perdata berlaku padanya, (b). Perempuan yang bersuami, berbuat zinah.


Zinah sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengandung pengertian bahwa Persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin (nikah) dengan perempuan atau laki-laki bukan istri atau suaminya, persetubuhan dimaksud dilakukan atas dasar suka sama suka.
Mencermati akan bunyi pasal yang mengatur tentang perzinahan diatas, maka unsur-unsur terpenting dari tindak pidana perzinahan yang harus dipenuhi guna menghukum seseorang sebagai pelaku tindak pidana perzinahan adalah : (a). Salah satu pihak telah menikah sah (tentang Sah-nya perkawinan dapat kita lihat pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan), (b). Adanya persetubuhan atas dasar suka sama suka (Unsur pasal ini menekankan bahwa persetubuhan sudah harus benar-benar terjadi. Perbedaan persetubuhan dalam Pidana Perzinahan dan Pidana Pemerkosaan  adalah, Dalam Pidana Perzinahan terjadinya persetubuhan oleh karena suka sama suka sedangkan dalam Pidana Pemerkosaan, terjadinya persetubuhan oleh karena tidak disukai oleh salah satu pihak dan diikuti dengan adanya ancaman kekerasan), (c). Harus ada Pengaduan dari suami/istri yang menjadi korban/dirugikan (unsur ini menggambarkan bahwa pidana perzinahan sebagai sebuah delik aduan yang absolut, tidak dapat dituntut apabila tidak ada pengaduan dari suami/istri yang menjadi korban/dirugikan). Bila dari ketiga unsur ini, salah satu tidak terpenuhi, maka sudah pasti seseorang tidak dapat diproses sebagai pelaku tindak pidana perzinahan.
Setelah kita mengetahui unsur-unsur terpenting dari tindak pidana perzinahan yang harus dipenuhi guna menghukum seseorang sebagai pelaku tindak pidana perzinahan, maka mengajak kita semua untuk mendalami satu persatu unsur pasal perzinahan sehingga kita bisa mengetahui “rumitnya, baik buruknya”, unsur-unsur yang membangun tindak pidana perzinahan itu sendiri dalam hukum pidana positif kita, yakni :

a.      Salah satu pihak telah menikah sah (Sah-nya perkawinan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan)
Seseorang dapat dikatakan sebagai pelaku dugaan tindak pidana perzinahan, maka salah satu pihak dari pasangan zinah tersebut telah menikah sah, tentang sah-nya perkawinan, maka kita bisa melihat Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berbunyi : (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika demikian muncul persoalan, bagaimana jika sebuah pasangan (laki-laki/perempuan) telah melangsungkan proses peminangan menurut hukum adat dan atau perkawinan menurut hukum adat kemudian hidup bersama (layaknya suami istri, apalagi kalau sudah dikarunia anak) dan dalam perjalanan hidup bersama tersebut, ada salah satu pihak tertangkap tangan berzinah, tentu pihak yang tertangkap tangan berzinah itu tidak dapat dihukum dengan Pasal Perzinahan, oleh karena belum adanya perkawinan yang sah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Disatu sisi Mahkama Agung Republik Indonesia pernah menguatkan sebuah putusan yang telah menjadi yurisprodensi (kekuatan hukum tetap), Seorang laki-laki yang awalnya dituntut sebagai pelaku perzinahan dibebaskan dari tuntutan sebagai pelaku perzinahan, walaupun saat itu yang bersangkutan tertangkap tangan berzinah dengan perempuan yang bukan istrinya, dan bahkan dalam pemeriksaan yang bersangkutan bersama pasangannya mengakui dengan jujur perbuatan mereka, selain daripada itu  pelaku perzinahan dimaksud, saat melakukan perbuatannya sadar bahwa mereka masih terikat perkawinan yang sah menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pertimbangan hakim dalam membebaskan orang tersebut dari tuntutan perzinahan oleh karena, orang tersebut telah mengembalikan tanda adat kepada keluarga istrinya, dimana menurut hukum adat yang dianut saat itu oleh keduanya (laki-laki yang berzinah dan istri sah-nya tersebut tunduk pada satu hukum adat), pengembalian tanda adat itu menandakan bahwa mereka telah dianggap bercerai dalam hukum adat mereka, walaupun perceraian atas perkawinan mereka melalui Putusan Lembaga Peradilan belum ada. Terhadap yurisprodensi ini, maka saya berpendapat seharusnya aparat penegak hukum dibidang pidana juga dapat memeriksa dan menuntut salah satu pihak yang berzinah walaupun mereka baru melangsungkan proses peminangan menurut hukum adat dan atau perkawinan menurut hukum adat, dengan catatan mereka (kedua pasangan calon suami istri tadi) tunduk pada satu hukum adat. Saya katakan demikian, karena ada hukum adat yang setelah melangsungkan proses peminangan menurut hukum adat dan atau perkawinan menurut hukum adat, kedua calon pasangan hidup tadi sudah dianggap dan atau dapat hidup bersama sebagai suami istri sah menurut adat, walaupun mereka belum melangsungkan perkawinan menurut amanat Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (ini banyak terjadi dalam kehidupan masyarakat indonesia). Dan ternyata dalam perjalanan hidup mereka, ada pasangan yang berzinah tentu pasangan yang satu akan mengalami kerugian kerugian Moril/penderitaan psikis yang tidak dapat diukur (terutama pihak perempuan).
b.      Adanya persetubuhan atas dasar suka sama suka (menekankan bahwa persetubuhan sudah harus benar-benar terjadi).
Seseorang dapat dikatakan sebagai pelaku dugaan tindak pidana perzinahan, apabila pasangan yang diduga berzinah tersebut sudah melakukan “Persetubuhan” (Persetubuhan menurut penjelasan KUHP adalah Peraduan antara anggota kelamin laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota kelamin laki-laki harus masuk kedalam anggota kelamin perempuan sehingga mengeluarkan air mani). Mencermati akan pengertian persetubuhan dimaksud, maka kita akan mengalami kesulitan dalam pembuktiannya, mengapa demikian, karena tidak mungkin orang bersetubuh, dilakukan ditempat yang sekiranya dapat disaksikan dengan mata telanjang, sehingga pembuktian terhadap unsur persetubuhan ini, biasanya hanya bergantung pada Pengakuan pasangan zinah serta pembuktian secara medis.
Khusus untuk pengakuan pasangan zinah agak sulit kita dapati (hal ini sejalan dengan ungkapan klasik bahwa kalau pencuri mengaku maka penjara sudah pasti penuh. Syukur-syukur kalau ada yang jujur mengakui, tetapi biasanya pasangan zinah yang mengakui dengan jujur perbuatannya oleh karena sudah memantapkan pilihannya menjadikan zinah sebagai alasan untuk bercerai), sedangkan pembuktian secara medis akan sangat sulit apabila sebelumnya pasangan zinah tersebut sudah pernah (sering) melakukan persetubuhan, lain hal kalau ketika pasangan zinah tersebut ditangkap walaupun mereka tidak dalam keadaan sedang bersetubuh, tetapi pada mereka didapati sperma yang baru saja keluar, maka sudah tentu pemeriksaan medis dapat membuktikan hal tersebut.
Ada anggapan bahwa walaupun pasangan zinah tidak mengakui pernah melakukan persetubuhan, dan pada mereka tidak didapati tanda-tanda yang dapat dijelaskan secara medis bahwa mereka baru saja melakukan persetubuhan, namun sepasang pasangan zinah “sudah dapat dianggap” telah melakukan persetubuhan karena keadaan-keadaan sebagai berikut ; mereka berdua berlainan jenis kelamin, bukan suami istri sah, tidak ada hubungan keluarga, kedapatan berduaan didalam kamar hotel, kamar kost dan lain sebagainya, bahkan mereka berdua mengaku dengan jujur saling mencitai, akan tetapi saya tegaskan bahwa keadaan inipun tidak/belum menjelaskan definisi persetubuhan diatas guna memenuhi unsur pasal ini. Kecuali akibat dari perzinahan itu, istri yang berzinah atan perempuan pasangan zinah hamil atau mempunyai anak dan kemudian pemeriksaan medis (Test DNA) mampu membuktikannya, maka walaupun tidak ada pengakuan akan perbuatan persetubuhan, tetapi keadaan diatas telah menjelaskannya.
Biasanya seorang suami/istri yang menjadi korban dari sebuah tindak pidana perzinahan, ketika menangkap “basah” suami/istrinya dengan pasangan zinahnya, berduaan didalam kamar hotel, kamar kost bahkan suami/istri pasangan zinah tadi ketika ditangkap mengakui dengan jujur bahwa ia mencintai pasangannya dan sudah menjalin hubungan cinta untuk waktu yang cukup lama, lalu melaporkan secara pidana kepada aparat negara penegak hukum dan melalui serangkaian proses hukum, kemudian suami/istri yang berzinah tadi tidak dapat diproses lebih lanjut oleh karena tidak dapat dibuktikan adanya unsur persetubuhan, kemudian menyalahkan aparat penegak hukum karena seolah-olah aparat penegak hukum tidak merespon laporannya, tetapi mau bagaimana lagi, hukum pidana kita memang mensyaratkan demikian.

c.      Harus ada Pengaduan dari suami/istri yang menjadi korban/dirugikan.
Untuk dapat memproses (dilakukannya tindakan penyidikan) tindak pidana perzinahan, maka harus ada pengaduan dari suami/istri yang menjadi korban dari tindakan perzinahan. Tindak Pidana perzinahan merupakan delik aduan absolut karena tindak pidana perzinahan tidak dapat dituntut apabila tidak ada pengaduan dari suami/istri yang menjadi korban dari tindakan perzinahan. Atas pernyataan ini, beberapa kalangan sering mempertanyakan, jika tindak pidana perzinahan merupakan delik aduan absolut, maka mengapa polisi tanpa adanya pengaduan, juga melakukan pemeriksaan terhadap pasangan yang diduga berzinah ?
Polisi tidak dilarang untuk mengadakan pemeriksaan bila mendapat laporan adanya dugaan terjadinya peristiwa perzinahan, bahkan pada saat-saat tertentu harus mengambil tindakan-tindakan kepolisian untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan serta menjaga keamanan dan ketertiban umum.
Pemenuhan unsur inilah yang menjadi dilematis bagi korban perzinahan. Mengapa demikian, Karena jarang sekali terjadi seorang suami/istri yang melaporkan suami/istrinya karena berzinah, membiarkan suami/istrinya diproses hingga mendapat putusan pengadilan yang inkrah, lalu di tahan di lembaga pemasyarakatan sebagai terpidana dan setelah suami/istrinya selesai menjalani hukuman penjara di lembaga pemasyarakatan baru mereka hidup normal lagi sebagai suami istri dalam sebuah rumah tangga. Kebanyakan suami/istri yang menjadi korban perzinahan mampu merelakan suami/istrinya diproses hingga mendapat putusan pengadilan yang inkrah, lalu di tahan di lembaga pemasyarakatan sebagai terpidana, karena sudah memantapkan pilihannya untuk bercerai. (muncul persoalan disini bagi mereka yang beragama kristen, dimana perceraian tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun kecuali kematian).
Suami/istri yang menjadi korban perzinahan, lebih menginginkan agar supaya suami/istrinya yang berzinah dapat ditahan untuk jangka waktu tertentu sehingga dapat membuat efek jera, akan tetapi hukum pidana positif kita tidak “mengakomodir keinginan” ini.





 

0 komentar:

Posting Komentar

 

chintya's blog Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review